TAFSIR
RABBANIY
(QS. Al-Hasyar [59] : 10)
Keistimewaan orang-orang yang beriman sesudah
Muhajirin dan Anshar
Munasabah Ayat : Hubungan ayat yang dibahas dengan ayat lalu
Kelompok ayat yang
lalu dipaparkan keistimewaan orang-orang muhajirin (ayat 8) dan keistimewaan
orang-orang Anshar (ayat 9).
Kelompok ayat yang
kita bahas ini (ayat 10) diterangkan pula keistimewaan orang-orang beriman yang
datang sesudah mereka (muhajirin dan Anshar) sampai akhir masa.
Jadi hubungan antara
ayat yang lalu dengan ayat yang kita bahas ini adalah hubungan kelanjutan.
Lebih terangnya hubungan tersebut dapat dilihat dari dua segi : Pertama,
yakni kelanjutan pembahasan yang berhak menerima harta fa’i (selain dari golongan
Muhajirin dan Anshar). Kedua, yakni kelanjutan dari karekteristik kepribadian
yang diistimewakan. Artinya selain dari golongan istimewa terdahulu itu, adalagi
golongan yang diistimewakan oleh Allah. Mereka adalah orang-orang yang bersih
hatinya dalam beriman dan menjalin hubungan yang tulus antar sesama mereka, dan
ini semacam dorongan bagi umat Islam secara umum untuk mencapai prediket
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat ini.
Keistimewaan
Muhajirin dan Anshar telah dikemukan pada ayat 8-9 yang lalu. Kini kita akan
kenali pula keistimewaan orang-orang yang datang sesuadah mereka. Oleh sebab
itu pembahasan ayat ke 10 ini penulis beri judul “Keistimewaan orang-orang
yang beriman sesudah Muhajirin dan Anshar”.
Teks Ayat : Ayat yang ditafsirkan
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا
غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Terjemahan Ayat : Arti kata perkata
Dan Orang-Orang
Yang Datang Sesudah Mereka. Mereka Berdoa :”Ya Tuhan Kami, Berilah Keampunan
Buat Kami Dan Saudara-Saudara Kami Yang Telah Mendahului Kami Beriman, Dan
Janganlah Engkau Membiarkan Dalam Hati Kami Kedengkian Terhadap Orang-Orang
Yang Beriman. Ya Tuhan Kami Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun Lagi Maha
Penyayang. (QS. Al-Hasyar [59] : 10)”.
Tafsirnya Ringkas : Penjelasan secara Umum
Dan selain dari golongan Muhajirin dan Anshar, berhak pula
orang-orang yang bersih hatinya dalam beriman dan menjalin hubungan antar
sesama mereka tanpa kedengkian dan wajar pula mereka itu dipuji, yakni orang-orang
yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar). Siapapun mereka
itu sampai hari kiamat tiba. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti keimanan,
sifat dan kebiasaan hidup pendahulu mereka. Mereka berdoa dengan doa
yang menghormati lagi memuliakan pendahulu mereka tersebut dengan lantunan
:”Ya Tuhan Kami, berilah keampunan buat kami, yakni ampunilah dosa-dosa
kami, maafkanlah kami, tutupilah aib-aib kami, jauhkanlah kami dari
keburukannya dan dampak-dampak yang ditimbulkannya dan begitu pula buat saudara-saudara
kami yang telah mendahului kami beriman, dan janganlah Engkau membiarkan dalam
hati kami sedikitpun kedengkian (kebencian, iri hati, memusuhi,
menyelisihi dan melaknati) terhadap orang-orang yang beriman walaupun
imannya belum mantap tetapi mereka telah mendahului kami dalam beriman ataupun
orang-orang yang beriman setelah kami. Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.
Tafsir Terperinci : Penjelasan yang lebih panjang
Kata جَاءُوا berarti
mereka datang. Lebih jelasnya dapat dipahami dalam dua makna. Pertama
dalam arti kedatangan jasmani. Kalau demikian maka yang dimaksud adalah
kedatangan para Muhajirin ke Madinah sebab Kaum Anshar telah beriman (telah
memeluk Islam) sebelum kedatangan para Muhajirin di sana. Kedua dalam
makna sifat atau karakter. Jika demikian maka yang dimaksud adalah kehadiran
orang-orang yang mengikuti keimanan, sifat dan kebiasaan hidup Muhajirin dan
Anshar. Jadi siapapun, dimanapun dan kapanpun, apabila mereka meneladani kaum
Muhajirin dan Anshar dalam waktu yang tidak terbatas sampai akhir masa termasuk
kelompok ini. Dengan begitu menjadikan mereka sebagai kelompok istimewa yang
ketiga dari umat Nabi Muhammad Saw., yakni Muhajirin, Anshar dan mukminin
sesudah mereka.
Adanya kelompok
istimewa yang ketiga ini juga diakui oleh Umar ibn Kaththab. Setelah penaklukan
Syam dan Persia saat menentukan kebijakan tentang wilayah yang telah
dikuasai, beliau berkata : “Kalaulah
bukan karena adanya kaum muslimin di masa mendatang, niscaya setiap negeri yang
kita kuasai akan saya bagikan kepada pasukan yang berhasil menguasainya (HR.
Bukhari dari Zaid ibn Aslam dari Bapaknya Aslam. Aslam adalah pelayan pribadi
Umar)”. Dengan disaksikan oleh shahabat utama lainya seperti Ustman ibn
‘Affan, Ali ibn Abi Thalib, pada mulanya pendapat Umar tersebut sempat ditentang
oleh Abdurrahman ibn ‘Auf, namun akhirnya beliau menerima pandangan Umar
setelah Umar mengingatkan tentang manfaat yang lebih besar bagi kaum
belakangan, penyamarataan kesejahteraan dan terpenuhinya rasa keadilan
rakyatnya. Sampai-sampai ia berujar : “Apa yang kita kumpulkan ini harus
dirasakan oleh semua orang tak terkecuali petani atau pengembala di gunung Sa’a
(Yaman) dan jangan sampai orang-orang belakangan berkata dikemudian hari karena
kita telah membagi kepada siapa saja yang menakkukannya, apa yang harusnya hak
kita telah habis dibagi oleh pemimpin terdahulu; inilah warisan buruk pemimpin
sebelum kita”. Keesokan harinya Umar membacakan ayat 8-9 dari surah yang
kita tafsirkan ini. Lalu beliau berkata : bukan buat mereka saja tetapi juga
(lalu beliau membacakan ayat 10 dari surah ini). Argumennya tersebut menguatkan
bahwa tidak seorang muslimpun yang tidak termasuk dalam ayat ini.
Saat ibn Abi Waqash
pernah berkata : Manusia ada tiga tingkatan; telah berlalu dua tingkatan dan
tersisa satu tingkatan. Jadi sebaik-baik yang bisa kalian peroleh adalah
tingkatan ini yang masih ada (lalu ayat) : وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ “Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka…(QS. Al-Hasyar [59] : 10)”.
Masih lagi
menyangkut kelompok ketiga, Ibn Kastir menerangkan dalam tafsirnya :
هؤلاء هم
القسم الثالث ممن يستحق فقراؤهم من مال الفيء، وهم المهاجرون ثم الأنصار، ثم
التابعون بإحسان، كما قال في آية براءة: {وَالسَّابِقُونَ الأوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَاروَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمْ } [التوبة : 100]
Mereka adalah
kelompok ketiga, orang-orang fakir dari ketiga kelompok yang mendapat harta
fa’i. mereka adalah orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin, Anshar dan orang-orang
yang mengikuti kedua golongan tersebut dengan baik sebagaimana firman Allah :“Orang-orang
Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada mereka (QS. At-Taubah [9] : 100)”.
Doa yang dipanjatkan
oleh orang-orang yang beriman setelah Muhajirin dan Anshar sebagaimana terbaca pada
ayat 10 ini, adalah ungkapan jujur dari hati yang bersih sekaligus mengajarkan
kepada kaum musklimin hendaknya selalu menghormati generasi terdahulu, tidak
benci, tidak iri hati, tidak memusuhi apalagi melaknati atas keutamaan atau
keadaan mereka. Keutamaan mereka tersebut harus diakui sebab mereka yang telah
merasakan perjuangan bersama Rasulullah Saw., mereka langsung diasuh oleh
beliau Saw. Mereka berperang, berhijrah (Muhajirin), mengorbankan harta
benda dan rela berbagi (Anshar) bersama
beliau Saw. Mereka yang mengikuti jejak
langkah keimanan (mereka Muhajirin dan Anshar), sifat-sifat mereka, kebiasaan
hidup mereka atau gaya hidup mereka; mereka berhak mendapatkan harta fa’i dan
menyandang sifat-sifat istimewa apatahlagi setetalah mereka ridha dalam beriman
dan berislam sehingga Allah pun ridha ke atas mereka.
Pendapat lain
dinukil dari Imam Syaukaniy : Mereka adalah orang-orang yang berhijrah setelah
kuatnya Islam. Zahirnya ayat ini mencakup semua yang datang setelah para
shahabat pendahulu yaitu yang memeluk Islam juga belakangan namun masih masa
Nabi Saw dan orang-orang yang yang mengikuti mereka setelah masa Nabi Saw
hingga dunia kiamat. Berarti orang-orang yang berhijrah setelah fathu makkah,
tidak termasuk Muhajirin, ia termasuk kelompok ketiga juga. Ini sesuai dengan
firman Allah :
لا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ
وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ
وَقَاتَلُوا وَكُلا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرٌ
“….Tidak sama
orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) diantara kamu dan berperang
sebelum penaklukan Makkah. Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang
yang menginfakkan (hartanya dan berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan
kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah Mahateliti
menyangkut apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid [57] : 10)”.
Menyangkut doa
orang-orang yang datang sesudah Muhajirin dan Anshar ”Ya Tuhan Kami, berilah
keampunan buat kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami
beriman”, Imam Syaukaniy mengatakan itu adalah hal yang selayaknya
diungkapkan oleh orang-orang beriman belakangan. Kata beliau juga, setelah
Allah memerintahkan mereka memohonkan ampunan bagi orang-orang Muhajirin dan
Anshar, Allah memerintahkan mereka agar memohon untuk dihilangkanغِلا dari hati mereka terhadap orang-orang yang
beriman secara muthlak, termasuk juga para shahabat Nabi Saw., karena merekalah
kaum Mukmin yang paling mulia. Lanjut beliau bila ada orang tidak memohonkan
keampuanan buat mereka bahkan sampai menyelisihi mereka, maka orang tersebut
telah ditipu oleh syaithan dan akan mendapatkan kemurkaan dari Allah Swt.
Kata غِلا maknanya menurut ibn katsir بغضًا وحسدًا yakni membenci dan hasad. Buruknya lagi orang yang
mempunyai sifat dengki dan membenci ini berkembang menjadi iri hati,
menyelisihi, memusuhi, melaknati dan melakukan sesuatu yang buruk terhadap
orang yang didengkinya. Orang yang mempunyai sifat dengki biasanya bersedih
hati jika yang didengkinya mendapat kebaikan dan sebaliknya bergembira bila
yang didengkinya mendapat keburukan. Hal ini diterangkan Allah dalam firman-Nya
: “Apabila engkau disentuh (memperoleh) sedikit kebaikan, niscaya mereka
bersedih hati. Akan tetapi apabila engkau ditimpa sedikit keburukan, niscaya
mereka bergembira ria karenanya. Jika engkau bersabar dan bertaqwa, niscaya
tipu daya mereka sedikitpun tidak akan mendatangkan kemudharatan kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. QS. Ali ‘Imran [3] :
120)”.
Demikian buruknya
sifat dengki ini, melalui riwayat Abu Hurairah, wajar saja Rasulullah Saw
bersabda : “Jagalah kalian dari sifat dengki. Sesungguhnya perasaan dengki
itu akan memakan kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar yang kering
(lafazh yang lain (melalap rumput)). (HR. Abu Daud)”.
Dalam kesempatan
yang lain berdasarkan riwayat Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda : “Janganlah
kalian saling membenci, saling mendengki, saling membelakangi (melongos) dan
saling memutuskan (hubungan persaudaraan). Dan jadilah kamu sekalian hamba
Allah yang bersaudara. Demikian pula, tidak dihalalkan bagi seorang muslim
mendiamkan saudarnya lebih dari tiga hari (HR. Bukhari-Muslim)”.
Sifat dengki ini
tidak boleh kecuali kepada dua golongan sebagaimana sabda Nabi Saw : “Tidak
boleh dengki kecuali kepada dua golongan. (pertama) terhadap orang yang Allah
memberinya harta yang banyak, lalu dia belanjakan untuk dihabiskan di jalan
kebaikan. (kedua) orang yang Allah memberinya ilmu yang banyak, lalu ia beramal
dengannya dan mengajarkan manusia dengannya. (HR. Jama’ah)”.
Muslim tingkatan
yang ketiga ini, diistimewakan Allah sebab : Pertama, karena mereka
adalah orang yang beriman dan tulus pula keimanan mereka. Mereka memohonkan
keampunan buat pendahulu mereka. Mereka mengikuti jejak keislaman para
Muhajirin dan Anshar. Kedua, karena mereka mempunyai hati yang bersih.
Tidak menaruh rasa dengki sedikitpun sebagaimana kaum Anshar. Hati mereka
lembut, tidak kikir apalagi angkuh, membenci dan memusuhi. Semua itu jauh
sekali dari diri mereka. Hati mereka bening dalam keikhlashan. Wajar saja mereka
ini mendapat keistimewaan dari Allah Swt. Sebaliknya orang yang tidak mengikuti
jejak pendahulu dan kotor hatinya tidak akan mendapatkan keistimewaan dari
Allah. Mereka tidak berhak mendapatkan harta fai’. Begitu pula tidak wajar
menerima santunan, infak, shadaqah zakat seandainya mereka itu susah. Imam Syaukani
menyebut mereka yang membenci para shahabat sebenarnya telah kafir.
Ibn Katsir memuji
pendapat Imam malik menyangkut kesimpulan beliau dari ayat 10 surah ini,
katanya :
وما أحسن
ما استنبط الإمام مالك من هذه الآية الكريمة: أن الرافضي الذي يسبّ الصحابة ليس له
في مال الفيء نصيب لعدم اتصافه بما مدح الله به هؤلاء في قولهم: { رَبَّنَا
اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ }
“Bahwa kaum rafidhah
(sempalan Syi’ah) yang telah mencaci maki para shahabat Nabi Saw., tidak berhak
mendapatkan harta fa’i ini. Karena di dalam diri mereka tidak terdapat
sifat-sifat yang ada pada orang-orang yang telah dipuji oleh Allah; yaitu
orang-orang yang dengan tulus mendokan : ”Ya Tuhan Kami, berilah keampunan buat
kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami beriman, dan janganlah
Engkau membiarkan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman.
Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang. (QS.
Al-Hasyar [59] : 10)”.
Ismail ibn Ulaiyyah
meriwayatkan Aisyah pernah berkata : “Kalian telah diperintahkan memohonkan
ampunan bagi para Shahabat Muhammad Saw., tetapi kalian justru mencaci-maki
mereka. Terangnya : aku pernah mendengar Nabi kalian Saw bersabda : "لا تذهب هذه الأمة حتى يلعن آخرها
أولها". رواه البغوي (Umat ini tidak akan
binasa, hingga orang-orang terakhir dari mereka melaknat para pendahulunya (HR.
Baghawiy))”.
Dalam kesempatan
yang lain melalui riawayat Ibn Mardawaih, Aisyah berkata pula : “Mereka
diperintahkan untuk memohonkan ampun buat para shahabat Nabi Saw, namun mereka
(rafidah) justru mencela mereka (Muhajirin dan Anshar). Lalu Aisyah membacakan
ayat وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ “Dan orang-orang yang
datang sesudah mereka….(QS. Al-Hasyar [59] : 10)”.
Kesimpulan : Intisari Ayat
Memohonkan keampunan
buat diri mereka dan orang-orang beriman terdahulu (Muhajirin dan Anshar) serta
memohonkan kejernihan hati dari kedengkian. Kelihatannya sedikit sekali yang
menyebabkan mereka dipuji oleh Allah. Tetapi apabila kita hayati dua faktor
tersebut sebenarnya telah mencakup keseluruhan dari pengamalan Islam seseorang
muslim. Dengan memohonkan keampunan lalu mengikuti jalan hidup pendahulu dan
dengan hati yang bersih dari kedengkian, iri hati, kebencian, memusuhi,
menyelisihi dan melaknati. Apalagi yang tidak termasuk ke dalam kandungan
ajaran Islam ?. Tentu kita berharap termasuk ke dalam golongan ketiga ini.
Dengan terus menerus meningkatkan ilmu, iman, amal dan memperbaiki akhlak kita.
Insya Allah kita hidup mengikuti jejak generasi rabbaniy terdahulu.
Al-Fakir
Adh-Dha’f : Isran Bidin, MA
(Mudir
Ma’had Al-Munawwarah bi Jaami’ati Riau Al-Islamiyah)
0 komentar:
Post a Comment